Minggu, 06 Desember 2009

Siapa Mau Datang Ke Banjarmasin ?


Kota hidup senafas dengan dinamika pelaku-pelakunya, warga dan Pemerintah kotanya. Dinamika itu juga menggambarkan apakah sebuah kota mengalami kemajuan, stagnan atau mengalami kemunduran. Wajah kota sekaligus membawa citra mau dibawa kemana kota itu. Ekspresi-ekspresi itu sekaligus menorehkan catatan-catatan masa lalu, masa kini bahkan rabaan-rabaan bagaimana kota itu dimasa depan.
Belajar dari kemajuan kota Shanghai yang luarbiasa, maka kemajuan bukanlah melesaknya bangunan ultramodern yang menggambarkan kekinian, tetapi warga Shanghai sekaligus menghargai bangunan lama, kawasan lama dan artefak lama sama nilainya dengan yang baru.

Bayangan akan China masa lalu yang pernah porak poranda tidak nampak samasekali, ketika orang melihat Shanghai masa kini. Orangpun bingung membedakan antara kota-kota Eropa, Amerika dengan Shanghai. Tidak hanya bangunan tinggi berlomba menggapai langit, bangunan masa lalupun tampil bersolek genit. Tidak cukup bangunan-cerdas (smart-buildings) memajang diri, jalan-jalan bebas hambatan dengan transportasi mutahir saling rajut untuk menyapa bangunan tua yang berusia ratusan tahun. Shanghai-pun kaya raya dengan bermacam artefak kota.

Warga Shanghai tetap menjaga semua artefak kota tetap utuh dan terawat. Modernisasi bahkan tidak ‘menyakiti dan melecehkan’ bangunan lama. Jalan bebas hambatan yang saling-silang dimana-mana, tampil harmonis dengan ‘hanya menggeser’ bahkan memindahkan posisi bangunan kuno apabila pilihan itu harus menjadi satu-satunya. Artefak-artefak kota itu dinafasi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak hanya eksis dari sudut pandang wisata saja, tetapi tetap enerjik menyumbang ekonomi kota dan warganya.

Penghargaan pada sejarah masa lalu (yang pahit sekalipun), membuat warga Shanghai menjadi arif. Pelajaran sejarah tidak hanya berkutat pada sejarah teknologi saja (seni arsitektur, tatakota, dan lain-lain) tetapi berbagai bidang, termasuk menghargai keberagaman. Artefak kota memainkan nada-nadanya secara harmonis. New-Shanghai yang” bungas” dengan gedung-gedung megahnya, bersanding manis dengan kawasan yang disebut old-Shanghai yang menyajikan arsitektur yang beragam. Arsitek-arsitek Eropah membawa arsitektur Gothik-nya sampai arsitek Rusia dengan bangunan megahnya, berdampingan mempesona dengan arsitektur Tiongkok nan eksotis.

Banjarmasin-pun tidak harus rumah Banjar bubungan tinggi, kota memang tidak harus seragam. Keberagaman tanpa menghilangkan identitas kota memang indah. Kalau ada kawasan Kampung Melayu dan kawasan Pecinan, Banjar boleh dong berbangga diri. Kalau Dutamall boleh berdiri, mengapa budaya sungai kita nyaris mati? Banjarmasin memang agamis, karena di pusat kota ada Masjid Sabilal Muhtadin.

Sama halnya kita bangga dengan kawasan Kuin, Banjarmasin Utara yang merekam berbagai memori. Disana carut-marut gambaran sejarah kota, awal Banjarmasin lahir dan menjadi cikal-bakal majunya Banjarmasin kita. Mulai jaman raja-raja, masuknya berbagai bangsa asing dengan segala macam keinginan dan tujuannya, marak dan matinya sampai menggeliat kembali seperti saat ini.

Keberagaman memang menjadi kata kunci untuk globalisasi. Kekinian memang bukan hanya milik wajah bangunan, sikap warga kota apalagi pengelolanya juga harus demikian. Menghargai keberagaman dan kemajemukan merajut kekuatan. Beda itu indah.
Memunculkan perbedaan itu suatu keindahan?

Tidak dapat dimungkiri gerbong ekonomi membawa kemajuan kawasannya. Dalam waktu yang hampir bersamaan ada beberapa Trade-Center atau Shopping Mall berdiri di kawasan Banjarmasin. Tampil dengan segala kekinian, mereka membawa juga atribut entertainment yang seakan menggugah Banjarmasin untuk tampil lebih hidup. Pertanyaannya kemudian adalah dayatarik apa yang membuat orang mau berkunjung ke kawasan Banjarmasin? Kota yang gemerlap bermandi cahaya, yang berlomba menawarkan entertainment, yang menyediakan apa saja kebutuhan wargakota. Bahkan fasilitas kota seolah pilih kasih untuk berkiblat kepada kapitalis. Siapa peduli Banjarmasin?

Pasar Terapung seperti kehilangan pesona, Museum Wasaka terdiam sendiri, Sungai Martapura-pun seperti menyerah ketika senja tiba. Kawasan Kuin tidak juga tampil meriah. Mesjid Sultan Suriansyah yang ber-arsitektur simpatik-pun belum berjaya. Apalagi Jembatan Barito yang seolah bukan milik siapa-siapa. Bukannya Banjarmasin ini dulu punya pesona kehidupan sungai? Yang menjadi tempat asyik untuk entertainment sehat di sore hari. Tidakkah tepi Barito dan sungai Martapura bisa disulap menjadi Jimbaran. Kawasan Jembatan Barito mampu dibuat seperti Clarke-Quay di Singapura?

Masalahnya adalah siapa yang memulai dan siapa pula yang mau berinvestasi dengan memberdayakan artefak kota, sekaligus menguntungkan dari sudut ekonomi. Banjarmasin Utara dengan kelebihan yang tidak dimiliki kawasan lain di Banjarmasin, berupa artefak lama kota seharusnya berbenah. Pemerintah Kota seharusnya memperbaiki sarana dan prasarana kota di kawasan ini. Memberi informasi yang maksimal agar mampu mengusir kegamangan orang untuk datang. Menciptakan ruang-ruang terbuka publik yang berkualitas dan spesifik, yang mampu mengundang wargakota untuk datang. Menghimbau atau bahkan mewajibkan pemilik bangunan merawat dan menampilkan bangunan seatraktif mungkin.

Di beberapa kota di dunia, bangunan lama (juga bangunan baru) hadir bermandikan cahaya di malam hari. Hal ini perlu didukung dengan kebijakan pembayaran listrik yang murah bagi bangunan bersejarah atau bangunan yang mempunyai sumbangan positip bagi perekonomian dan Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini perlu diterapkan agar mereka yang mempunyai andil dalam nilai tambah perkotaan, dapat hidup layak.

Partisipasi warga diharapkan dapat berupa dukungan program-program budaya yang otentik. Di beberapa kota besar di Indonesia sudah jamak acara-acara wisata kawasan cagar budaya. Banjarmasin sudah memulai dengan acara-acara seperti Festival Budaya Pasar Terapung 2008, Aruh Ganal Banua Banjar, dan lain-lain. Pada saat ini pemberdayaan Kawasan Banjarmasin, utamanya bertujuan membuat peninggalan atau budaya banua mampu bersinar kembali. Siapa mau ke Banjarmasin? (2 Juni 2009)

Sumber :
Taufikurrahman S.Pd.I, Peminat Sosial Keagamaan di Banjarmasin
19 Agustus 2009

Sumber Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar